<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6547256607741857129\x26blogName\x3dmemo+dari+pojok\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://mojokdilit.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3din\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://mojokdilit.blogspot.com/\x26vt\x3d324060375186577294', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
♥ Fly Away 멀리 비행거리
Senin, 03 Desember 2007 Y
Rumah Ayah

Rumah yang akan kuceritakan ini adalah sebuah bangunan dua lantai dengan dominasi hijau sangat muda dan beberapa kuning gading di interiornya. Eksteriornya, putih seperti kebanyakan rumah tahun 90an. Tempelan batu candi setinggi satu meter dari tanahlah yang membuat bangunan ini tampak lebih up to date. Bangunan ini bukan hanya rumah bagi pemiliknya tapi juga rumah bagi banyak orang terdekat sang tuan rumah.

Tahun 1990 keadaan sama sekali berbeda dengan saat ini. Ibu sama sekali tidak pernah mengira akan memiliki bangunan hijau nan megah ini ( persis seperti umumnya orang-orang yang telah mendapatkan pencapaian tertentu dalam hidupnya : tak pernah mengira ). Saat itu desa ini adalah salah satu dari banyak kantong-kantong ruang kosong di sisi utara Jogja. Dari kota jalannya cukup jauh menanjak, banyak pohon, lembab berembun tak peduli pagi, siang, menjelang malam, atau tengah malam. Jalan yang menanjak menuju bukit Kaliurang ( yang ekslusif berkelas pada masa itu ) dilengkapi dengan rumput ilalang setinggi perut orang dewasa dan jalan berpasir yang berubah menjadi sungai ketika musim hujan. Tidak ada lampu penerang jalan dan pada malam hari sayup macapatan-tembang-tembang Jawa dari kejauhan dusun sebelah masih bisa terdengar. Tentram. Temaram. Dan syahdu. Mendamaikan meski terus terang tidak semua liriknya bisa kupahami. Aku heran bagaimana ayah ibuku bisa menemukan tempat terpencil ini dan memutuskan sebuah petak kosong ( benar-benar kosong tanpa pohon peneduh sebatang pun ) sebagai tempat membangun hidup. Yang jelas harga tanah di sana sangat murah saat itu. Kukira itulah pertimbangan utama pemilihan lokasi ini.

Tidak jelas bagaimana ayah mengumpulkan uang untuk bisa membangun sebuah rumah. Yang kutahu saat itu hanyalah ayah adalah seorang dosen. Bukan profesi yang ngetop saat itu. Tapi cukup mapan. Tapi sederhana dan tetap tidak cukup untuk membeli rumah, hanya cukup untuk membeli susu dan langsung habis. Sepulang dari bersekolah di Inggris selama 2 tahun, ayah membawa banyak oleh-oleh ( saat itu umurku baru 4 tahun ). Beliau membawa banyak perangko bergambar tampak samping Ratu Elizabeth dengan berbagai warna, beberapa mainan modern yang belum pernah kutemui di toko mainan manapun di Jogja ( dan sempat membuatku merasa menjadi orang paling pintar seantero kampung Semaki Jogja ), beberapa botol minuman keras mini untuk pajangan, dan beberapa poundsterling sisa beasiswa yang dibelanjakan dengan sangat hemat dan hati-hati. Poundsterling sedang menguat, rupiah lemah. Jadilah sisa beasiswa itu sebuah rumah dengan 3 kamar tidur mungil, sebuah dapur, sebuah kamar mandi, serta satu ruang yang cukup luas untuk dijadikan ruang keluarga dan ruang makan. Sebuah rumah yang tidak pernah terimpikan sebelumnya. Pindahlah keluarga kecil yang sudah 7 tahun menumpang di rumah orang tua itu ke sisi utara Jogja. Kita sudah punya villa Kaliurang sendiri, kata ibu. Udaranya bersih apalagi ketika pagi. Dingin lembap berkabut seperti di Kaliurang. Apalagi halaman di belakang rumah cukup luas dan berumput. Tanah di sekelilingnya masih kosong, juga berumput, tak berpagar. Dengan cara yang sederhana ibuku sudah memiliki ‘gardens without boundaries’.

Suatu ketika serombongan pramuka SMP berkemah di lapangan kosong belakang rumah kami. Melihat sebuah sumur dan timba nganggur seketika halaman rumah kami menjadi ramai. Malamnya hujan deras menenggelamkan tenda beserta isinya. Rumah kami kembali ramai untuk berteduh. Cerita itu terjadi ketika aku masih TK. Lama-lama aku jadi berkeyakinan bahwa rumah pun memiliki garis hidupnya seperti manusia. Rumah bercat putih ini selalu ramai, untuk pertemuan keluarga, markas teman-teman sekolah dan teman kampus, pertemuan kolega kerja, tempat nginep keponakan-keponakan, dan banyak orang yang menjadikan rumah ini sebagai rumahnya. Rumah kecil tanpa pondasi itu berkembang sejalan dengan perkembangan penghuninya. Pertengahan aku SD ayah menutup lantai rumah yang tadinya hanya plesteran semen. Kini lantai tertutup keramik putih. Serasa sangat mewah saat itu. Lalu sebuah garasi panjang dan gudang mungil dibangun di samping rumah. Halaman tanah tertutup semen. Kini mobil honda pick up ‘tlontong’ warna merah tidak harus diteduhkan di teras belakang dan kami bisa menjadikan teras belakang ( yang menghadap halaman nan luas dan horor itu ) sebagai tempat berangin-angin. Kembali pembangunan dilakukan. Diarsiteki dan diawasi oleh ayah sendiri ( jadi inget film little house in the prairy ). Sebuah musholla berdiri di sisi lain seberang garasi. Bangunan musholla itu berdiri di pertengahan aku SMP. Kembali rumah menjadi ramai. Jadi markas Shakey, grup band asal Jogja yang sempat memijar dan kini padam lagi. Satu bulan rumah putih ayah ( dengan sebuah musholla tercinta itu *Yuhuiy!!* ) menjadi rumah, kantor, sekaligus markas, 8 cowok penuh mimpi yang beraksi di atas panggung setiap malam, melantunkan syair-syair cinta dan harapan. Cerita yang tidak bisa dibilang singkat itu berlangsung di awal aku SMA ketika ayah ibu pergi ke tanah suci. Sepulang dari tanah suci rumah kembali sepi namun lagi-lagi ayah melebarkan ekspansinya. Rumah putih yang dulu mungil itu tidak bisa dibilang rumah mungil lagi. Ayah menambahkan 2 kamar tidur dan satu ruang keluarga di lantai 2. Sebuah lader menjadi akses ke gudang di langit-langit lantai 3. Komplit sudah pencapaian cita-cita ayah. Ketika bangunan baru yang menjadikan rumah hijau muda ini benar-benar menjadi rumah komunal, kebun belakang yang dulu sama sekali tidak memiliki peneduh sudah penuh dengan pohon mangga, sono, duren, jambu, rambutan, sukun, pepaya, sawo, melinjo, dan banyak tanaman hias baik yang berbunga atau yang cuma berdaun.

Rumah ayah bagiku adalah menara Griffindor, liang Hobbit, balkon Juliet, playground fantastik, gudang tanaman berjuta varietas, pabrik oksigen, gua yang hangat, habitat berbagai unggas aneka warna dan suara, perpustakaan impian semua kutu buku, sumber berbagai ilmu, ruang diskusi yang dinamis, tempat kerja paling efektif, laboratorium astronomi, tempat menyepi yang damai, surau yang aman, telaga bagi mereka yang kehausan. Jika malam cerah, aku melompat dari jendela dan menaiki atap, terpekur di atas genteng beton yang masih hangat sambil menekuni peta bintang dan mendongak mencari konstelasi yang tergambar dalam kertas lusuh yang terkulai tak berdaya di pangkuanku. Selotape di sana sini bermaksud menambal bagian-bagian yang sobek namun justru menyamarkan tinta fotocopy di baliknya. Di kamar aku menggantungkan 3 replika pesawat yang kurakit sendiri. Di salah satu sisinya sebuah rak memenuhi dinding. Isinya buku-buku berat ( berat secara denotasi ) yang rata-rata tebalnya 5 cm yang menjadi mainanku. Salah satu hal yang membuatku jatuh cinta dengan kamarku ( selain karena posisinya yang menghadap kebun belakang ) adalah begitu banyaknya ilmu yang kusimpan di sana : arsitektur, psikologi, struktur bangunan, matematika, mesin, sejarah, pengobatan, sastra, bahasa, seni, agama, dan beberapa ilmu populer. Selama beberapa tahun kamarku menjadi sacred chamber bagiku. Dan menjadi chamber of madness bagi teman-temanku karena di sanalah markas gank kampus tumbuh.

Jalan berumput ilalang yang menjadi sungai ketika musim hujan sudah lebar beraspal dengan toko-toko kecil di kanan kirinya. Bahu jalan Kaliurang yang menanjak sudah dipenuhi dengan papan penanda perumahan. Nggak terasa udah 17 tahun aku tinggal di sini.

Penghujung histeria mendekat. Kakakku akhirnya hengkang dari rumah surga ini menuju perantauan. Menuju dewasa. Sebuah tugas memanggil dari luar Jawa, menantang validitas ilmu kimia yang ditekuninya. Sedangkan aku, semua buku sudah kubaca. Lekuk-lekuk istana ayah ini sudah kukenal persis. Sayap ingin terkembang namun tiba-tiba aku menjadi tidak berdaya. Di luar gudang ilmu yang tentram itu ada sumber ilmu lain yang lebih kaya. Dunia. Serta merta rumah ini seperti bukan hakku lagi. Kenikmatan di dalamnya adalah suapan dari ayah ibu. Pencapaian di luarnya adalah tanggung jawabku. O, begini rasanya mau lulus.

“Dik, mbok kalo udah lulus kamu nggak usah pergi dari sini. Tinggal di sini terus saja nemenin mama papa,” kata ibuku suatu malam.

Aku tersenyum.

Ayah, sanggupkan aku meraih semua ini dengan tanganku sendiri?

Ragu-ragu masih menggantung di anganku, berperang dengan mimpi terbang.




Posted @
08.43






YL'espoir

A dream
is a wish
that your heart makes


Ythe Fair Lady



♥ Rein.
betah mongkrong semaleman di atas genteng buat liat bintang,
betah duduk lama di depan rak buku,
seneng liat pesawat,
ngomongin pesawat,
bikin maket pesawat,
ngomongin maket pesawat,
baca buku tentang pesawat,
n masih sering histeris kalau liat pesawat tempur
baik yang terbang ataw yang cuma diem.
lemot kalau belajar bahasa tapi semangat kalau disuruh cerita.
menghabiskan bermenit2 kebingungan di depan lemari sebelum berangkat ngampus.
langit, laut, gunung, perpustakaan, what's next?? hyow!!




LovesY

See above :D


HatesY

Hate nothing :D


CravesY

London.. :D


TagboardY


Free chat widget @ ShoutMix


♥ London bridge is falling down, my fair lady...


sweet escapesY


Click For Links.


musicY

Sixpence None the Richer
Mocca :D


The PastY

November 2007
Desember 2007
Januari 2008
Februari 2008
Mei 2008
Juni 2008
Juli 2008


Thanks a millionY

Designer: Chocoxbaby
Some Codes From: %PURPUR.black-, illusion-edlove
Image Host : Photobucket